Page

Rabu, 02 Oktober 2013

Di Antara Yang Telah Pergi dan Yang Terus Hidup


Mengawali bulan ini, saya bagikan true story "Di Antara Yang Telah Pergi dan Yang Terus Hidup" yang dikirimkan seorang sahabat dan saya rasa penting untuk dibagikan kepada semua sahabat.
Yang Telah Pergi

Teman SD saya meninggal dua hari lalu. Sejak beberapa tahun lalu hingga April lalu saya sudah berusaha mengingatkan dia berkali-kali. April lalu, saya sempat singgah menengok dia. Kata suaminya, istrinya sudah hampir KO. Belakangan ia mengikuti saran saya. Ia minum jeruk nipis dua hingga tiga buah sehari.

Akhir Juni lalu, dengan wajah bahagia, ia memberitahu saya bahwa ia telah dapat bersujud tarawih kali ini, dan telah berjalan kaki ratusan meter beberapa pagi itu. Hari itu juga, ia baru berterusterang kepada saya, ia tidak bisa belajar vegetarian. Saya pun hanya minta ia serius kurangi makanan hewani... "Bulan April lalu, kamu sudah diberi lampu kuning", saya tegaskan di depannya dan suaminya.

Tengah hari Selasa, 24 September 2013, adik saya sms saya. Ia sudah pergi... Semua seperti sebuah film yang telah sampai pada "the end". Teringat saat terakhir ia bercerita, kami teman sekelas tapi ia "dropped out kelas 5. Individu yang baik dan suka bercanda. Disukai di mana-mana. Kedai adik saya menjadi saksi kebaikannya pada banyak orang semasa hidupnya.

Yang Terus Hidup

Di daerah yang sama, saya berpapasan dengan seorang teman lama. Ia baru kembali dari rumah sakit. Ia memberitahu saya, istri abangnya kena serangan stroke. Kali jauh lebih gawat dan mungkin tidak akan bertahan lama lagi.

Satu hari kemudian, saya pergi menjenguknya. Wanita setengah baya itu terbaring di ranjang rumah sakit dengan tiga selang ditancapkan masing-masing di tangan, hidung dan mulutnya... Di layar monitor terlihat detak jantungnya sangat tidak stabil lagi. Sesekali tampak ia ingin berpindah posisi baring tapi tidak bisa. Punggungnya sudah mulai lecet. Ruangan pengap dan panas. Keluarganya semua sudah berkumpul di sana. Saya memanggil-manggil dia agar sadar, dan minta ia membuka matanya, meminta ia melihat dan mendengarkan saya.

Setelah dipastikan ibu stroke tersebut bisa melihat dan mendengarkan saya, saya minta suami dan kelima anaknya juga ikut mendukung. Beruntung saya cukup memahami karakter masyarakat religius umum seperti ini. Saya pun berusaha meminta ia yakin sesungguhnya Tuhan telah menyediakan makanan dan obat-obat yang baik dan benar untuk memelihara tubuh yang Ia ciptakan untuk kita. Semuanya tumbuh di atas Bumi Raya ini. Sesungguhnya, Ia Maha Pengasih kehidupan. Saya yakin Tuhan tidak akan membiarkannya menderita seperti ini. Tuhan ingin ia sembuh. Ia harus yakin, ia pasti akan sembuh dan sehat ceria seperti semula, bahkan mungkin panjang umur. Tidak perlu lelah menemui dokter untuk setumpuk obat kimia lagi. Tidak perlu lelah kembali ke tempat tidur rumah sakit ini lagi untuk kesekian kalinya. Terakhir saya hanya meminta agar terapi tersebut tidak perlu diketahui oleh pihak lain selain mereka. Suami dan kelima anaknya pun kompak dan setuju.

Tiga jam kemudian, saya menelpon suaminya, Bang Ali. Kondisi istrinya sudah stabil. Beberapa hari kemudian saya dengar ia telah kembali ke rumah. Tidak lama kemudian lagi, saya pergi melihatnya. Cahaya bahagia dan rasa syukur terasa memancar dari wajahnya dan keluarganya. Ia sudah dapat menggerakkan kedua tangan dan kakinya. Ia mulai dapat berbicara meski masih terdengar kaku dan sengau.

Sebulan kemudian, istri Bang Ali sudah berbicara sambil tersenyum. Wajahnya bersih dan merona... "Saya tidak pernah sehat seperti hari ini. Dan saya pun tidak pernah cari dokter dan minum obat kimia lagi sejak hari itu", katanya pada saya. Suaminya mengaku, sejak hari itu, istrinya total vegan. Ia sudah menghentikan konsumsi sajian utama ikan dan, bahkan, telur dan susu. Terakhir, sebelum saya kembali ke Batam, saya mengingatkan mereka, bukan kolesterol saja, asam urat (uric acid) pun sangat-sangat tinggi pada makanan hewani, darat dan laut. Mengapa kita dan para dokter tidak menguranginya?

Harapan Kecil yang Tertinggal

Satu teman masa kecil saya lagi telah pergi. Ia telah memilih jalannya sendiri. Tiada yang dapat mengetahui kematian tapi kita semua diberi akal budi untuk memilih jalan yang tidak menghalangi Tuhan memberi kita hidup yang lebih panjang, sehat dan bahagia dalam tubuh yang telah Ia ciptakan dengan sempurna.

Nay, nama panggilan teman SD saya tersebut. Ia jauh lebih muda daripada istri Bang Ali tapi dua hari lalu ia telah pergi dari dunia ini, meninggalkan suami dan kedua anaknya serta sahabat-sahabat yang akan merindukannya. Juni lalu, saat ia lewat di kampung Bang Ali itu, ia sempat melihat istri Bang Ali di teras rumahnya dan telah bisa berdiri. Dan, pagi itu, Nay, teman saya ini, adalah orang pertama yang memberitahu saya "keajaiban" itu.

Sekarang, saya baru sadar, teman saya yang telah pergi ini telah memberi saya kabar itu antara rasa syukur dan kesulitannya sendiri. Untuk selamanya, ia harus memilih jalannya sendiri di tengah masyarakat kita yang sedang sakit dan tidak mengerti. Namun, ia telah sempat mewariskan sesuatu kepada dunia meski itu hanyalah sebuah harapan kecil di antara kedatangan dan kepergiannya.

Selamat jalan, sahabatku. Tuhan bersamamu selalu. . . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar